Sabtu, Maret 28, 2009

MENiup RUH MAULUDAN


Peristiwa lahir dan matinya seseorang adalah peristiwa yang lumrah. Alami. Semua manusia mengalami. Menjadi berbeda dan istimewa (perlakuannya) bila yang dilahir-matikan adalah insan pilihan-Nya.
Demikian halnya ketika (Nabi) Muhammad kecil lahir dari rahim Siti Aminah. Peristiwa kelahirannya biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Juga tidak ada yang memperingati dan merayakan semeriah sekarang.
Tapi, 1438 tahun pasca kelahiran beliau (sekarang), peristiwa tersebut diperingati secara meriah oleh jutaan umat Islam di dunia. Ragam peringatannya pun tak terbilang banyaknya. Di Indonesia, ia diperingati mulai dari tingkat RT, desa, kecamatan, bahkan sampai Istana Negara.
Tujuan pokoknya sama. Mengenang kembali jasa-jasa beliau, cita-citanya, perjuangannya, pengorbanannya, jerih payahnya, tujuan hidupnya, dan apalagi ajaran mulianya. Dengan satu-satunya niatan : agar mendapat syafaat beliau baik di kehidupan dunia sekarang, terlebih di akherat kelak.
Sayangnya, diakui atau tidak, peringatan mulia tersebut ada yang terlupa. “Ruh” mauludan belum mengakar disana. Sehingga, perayaannya terkesan hanya sebagai ritual yang miskin makna. Terlepas dari hakekat dan pesan intinya.
Jauh tak menyentuh permasalahan apakah Tuhan menghendaki peristiwa lahirnya sang utusan tersebut—baik pada Nabi SAW maupun para rasul yang lain—dirayakan umat manusia. Lalu, apakah dibenarkan/disalahkan bila memperingatinya?
Saya yakin Tuhan “tidak” menghendaki adanya perayaan tersebut. Nyatanya, Nabi SAW sendiri tidak mengajarkan untuk memperingati lahirnya para rasul sebelum beliau. Misalnya saja merayakan lahirnya Nabi Isa--yang oleh kaum Kristiani diperingati sebagai hari Natal.
Beliau sendiri nyatanya juga tidak mewasiatkan agar hari kelahiran beliau (12 Rabiul Awal, bertepatan Senin 9 Maret 2009) dirayakan umat Islam. Namun, bila sekarang kejadiannya sedemikian meriah, hemat saya tidak terlalu salah. Asalkan ruhnya mauludan mengada pada tempatnya.
***
Setiap perayaan hari besar dan bersejarah, yang seyogianya ditafakuri secara mendalam, kemudian dipancang kuat dalam hati yang paling dalam adalah menemukan hakekat makna dibalik peristiwanya. Kemudian mencari langkah-langkah konstruktif yang perlu dibangun.
Dalam peristiwa mauludan, pemikiran utama yang hendaknya dilakukan secara mendalam adalah menemukan jawaban mengapa Tuhan “perlu” melahirkan Muhammad SAW menjadi penerus para rasul sebelumnya. Bukankah (mestinya) sudah cukup dengan diturunkannya puluhan rasul terdahulu—lengkap dengan kitab dan ajarannya?
Mencermati masalah yang cukup lembut dan njlimet ini, dalam Al Quran ditemukan sedikitnya empat alasan yang membahas mengapa Tuhan perlu menurunkan rasul-Nya--yang realisasi penurunannya dilakukan secara berkesinambungan.
Pertama, untuk membimbing manusia agar tidak terjebak dalam perbuatan merusak dan menumpahkan darah. Sebab, sesuai firman-Nya, manusia itu “pekerjaannya membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (QS. 2:30).
Hakekat membuat kerusakan adalah merusak hukum kehidupan yang telah Dia gariskan. Kehidupan dunia adalah ujian untuk bisa pulang kembali kepada-Nya. Hukum ini nyatanya dirusak dengan senang, bangga, susah, kecewa, dst-dsb, bahkan kelewat cinta dunia.
Membuat kerusakan yang lain—disamping membuat kerusakan yang nyata baik di darat, laut, udara, bahkan luar angkasa—adalah merusak kesanggupannya sendiri. Merusak kesanggupan memikul amanah yang telah disanggupi ketika masih di alam arwah. Terbukti dengan tidak butuh mengenali Wujud/Dzat-Nya hingga hakkul-yakin. Tidak mau mengakui, mencari, dan apalagi “berguru” pada rasul-Nya.
Kedua, menjadikan rasul sebagai “juru kunci” yang dapat mengenalkan kembali pada Dzat/Wujud-Nya--yang selanjutnya disembah dan dijadikan tujuan kembali.
”Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu (manusia dan anak keturunannya) tentang Al-Ghaib (Dzat/Wujud-Nya), akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya dari (dengan cara melalui) rasul-Nya...” (QS. 3:179).
Jelasnya, karena Tuhan tidak akan “ngejawantah” (menampakkan Diri) di muka bumi (sebagaimana kisah Nabi Musa meyakini Wujud Tuhan), maka “merasa perlu” mengangkat wakil/khalifah/rasul untuk menunjukkan Jati Diri-Nya.
Ketiga, karena “mereka (manusia umumnya) tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal" (Q.S. 22:74). Padahal, ketika masih di alam arwah (alam fitrah) dulu, arwah semua manusia telah mengenali Dzat-Nya dengan seyakin-yakinnya. Terbukti dengan “gagah perkasa” berani menjawab persaksian dari-Nya: “Alastu Birabbikum”, bukankah AKU ini Tuhanmu? dengan jawaban “Qaalu balaa syahidna”, benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi (QS. 7:72). Oleh karenanya, penurunan rasul-Nya (Muhammad SAW) adalah wujud Maha Belas Kasihnya, yang akan mengenalkan kembali jati diri manusianya dengan Jati Diri Tuhannya.
keempat, mengangkat rasul sebagai “pilot proyek“ (suri teladan/contoh nyata) dalam rangka berjihad untuk bertemu Tuhan kembali. “Pada diri rasul (semua para rasul-Nya) terdapat suri teladan yang baik, bagi yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiyamat” (QS. 33:21, QS. 60:6). Disamping “duta khusus” penyambung “lidah”-Nya.
Implikasinya, “hanya” pada rasul-lah terdapat suri teladan yang baik. Selain rasul, tidak ada jaminan dari-Nya untuk diteladani. Namun, pada mereka semua pasti ada butir-butir “saripati” kebaikan dan kebenaran yang dapat diambil. Tergantung seberapa besar kemampuan menelaah, mencermati, yang kemudian memulungnya.
Walhasil, hikmah yang dapat diambil dari “muludan” adalah bahwa Tuhan akan selalu meng-“update” (memperbarui) rasul-Nya, bila rasul-Nya tiada (meninggal, dibunuh, ataupun murca) dengan rasul berikutnya. Hal demikian menurut Tuhan adalah suatu perkara yang sangat-sangat mudah. Namun menurut manusia adalah perkara yang sangat berat. Sebagaimana kisah penolakan para rasul oleh umat sebelumnya.
Kemudian pemikiran konstruktifnya, inspeksi diri sejauh mana kita mengapresiasi pertanyaan besar-Nya: "Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu (kamu dalam arti nenek moyang, kita semua, anak cucu, semua spesies manusia sampai kiamat). Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. 3:101).
Seberapa besar pula kita telah meneladani sang rasul mulai dari perbuatannya, perkataannya, ilmunya (pemahaman dan keyakinan perihal ketauhidan), amalnya, lahirnya, dan batinnya? Terlebih wening-nya hati nurani roh dan rasa dalam mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya? Wallau a’lam, wa ana makanul khatha’ wa nisyan.

Oleh: Roni Djamaloeddin


Penulis:
Praktisi Ilmu Tauhid Sejati. Guru Matematika dan Ilmu Dedaktik SMA POMOSDA Tanjunganom Nganjuk.

Dari Imam Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin Kepada semua santri yang telah merampungkan studi di SMA POMOSDA.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bismillaahirrahmaanirrahim.

Dengan berkah dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa, didorong oleh rasa tanggung jawab saya selaku Imam, dengan ini berkehendak menyampaikan nasehat, pesan, wasiat yang berguna bagi masa depan anak-anak.

Secara nyata (pada umumnya) telah terjadi bahwa bagi para siswa setelah menyelesaikan studinya di bangku SMA lalu penasaran hendak meneruskan kemana. Penasaran dengan masa depannya. Lalu banyak yang mengalami kebingungan. Langkah mana dan langkah apa yang harus ditempuh.

Seharusnya bagi semua santri di SMA POMOSDA karena telah memperoleh tempaan Ilmu Nubuwah/Ilmu Syathoriyah tidak ikut larut dengan kesalahkaprahan tersebut.

Sebaik-baik orang adalah manusia yang oleh Allah diberi umur panjang dan hidupnya bermanfaat bagi orang lain.
Supaya menjadi manusia yang bermanfaat harus selalu berusaha mengembangkan diri, memajukan diri, bisa menerima dan melihat kenyataan, obyektif, tidak keburu nafsu, tahu diri (sebagai hamba Allah), maka tidak berbuat nggugu benere dewe, berusaha dapat meringankan beban orang tua (mikul duwur mendem jero sebagai wujud berbaktinya anak kepada ibu bapaknya), sungguh-sungguh menjaga iman dan taqwanya serta sungguh-sungguh untuk dapat menjadi anak yang shaleh dan sholihah.

Berpikir maju, kreatif, inovatif, dinamis/bersemangat menghadapi masa depan tidak harus melanjutkan belajar ke perguruan-perguruan tinggi unggulan yang punya nama-nama besar. Hal demikian namanya tertipu. Berpikir maju bagi masa depan yang diridhai Allah sangat tergantung (lebih 80%) kepada diri sendiri.
Tidak bisa dihitung dengan jari betapa banyak tokoh-tokoh dunia yang SD saja tidak tamat, SMP tidak selesai, SMA tidak rampung, di perguruan tinggi protol di tengah jalan, tetapi karena bisa melihat kenyataan, obyektif, tahu diri, kreatif memajukan dan mengembangkan diri menjadi penemu-penemu yang berguna dan berdaya guna bagi kemajuan peradaban manusia, meskipun perihal iman dan taqwanya tidak ada jaminan kecuali para nabi-Nya Allah dan rasul-rasul-Nya.

Apa artinya maju dan modern pikiran-pikirannya dan gagasan-gagasannya, konsep-konsepnya dan teori-teorinya, penguasaan science dan teknologinya, apabila ternyata hanya menjadi penghancur bagi peradaban manusia. Contoh konkritnya negara sebesar Amerika Serikat. Karena kemajuannya tidak ditujukan untuk keimanan dan amal-amal yang shaleh, tidak lama lagi akan dilenyapkan Tuhan dari muka bumi (termasuk mereka yang berpikiran seperti itu).

STT POMOSDA yang dipandang rendah karena di pelosok desa, di dalam Pondok, jangan dikira di masa yang akan datang tidak akan melahirkan orang-orang berkaliber internasional, buah manfaat atas kesungguhannya dan karena imannya yang kokoh dengan amal-amal shaleh yang teruji. Hal demikian harus direnungi sebab Allah akan segera melenyapkan semua yang semu diganti dengan yang nyata-nyata berada di dalam rengkuhan Al-Haqq-Nya.

Semoga para santri bisa menangkap pesan dan wasiat ini serta berusaha berpikir jernih dengan hati tidak mudah melupai Diri-Nya Ilaahi. Amin.



Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tanjung, 11 Mei 2007
Imam
Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin,



KH. M. MUNAWWAR AFANDI

POMOSDA, PONDOK SUFI DAN GERAKAN JAMAAH (25 Oktober 2008)

Tujuan dan cita-cita Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA): berusaha dengan sungguh-sungguh dengan benar dan ikhlas agar dapat menghasilkan sebanyak-banyak orang yang shalih dan shalihah yang luas, tinggi dan mendalam kepahamannya tentang agama Islam, yang cakap dan berkeahlian serta berakhlak mulia, rajin beramal dan berbakti kepada masyarakat berdasarkan taqwa (takut dan tunduk kepada Allah) sehingga menjadi warga masyarakat yang berilmu, terpelajar, beramal dan bertaqwa.

Agar dapat mencapai tujuan dan cita-cita tersebut pelaksanaan pendidikan, pembelajaran dan pelatihan di dalam POMOSDA menggunakan 2 sistem. Yakni sistem sekolah/madrasah dan sistem pondok yang kedua-duanya harus saling mengisi dan melengkapi. Sistem sekolah/madrasah bertujuan untuk mempercepat langkah dan jalan penguasaan pengajaran.

Sistem pondok dimana kyai, ustadz dan ustadzahnya dengan santri dan muridnya, siang dan malam dapat bergaul dengan rapat sehingga merupakan satu keluarga yang perasaan ruhaninya diliputi oleh mahabbah (rasa kecintaan dan kasih sayang) yang akan dapat menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.
Dalam kedua-dua sistem tersebut, sistem pondok yang juga dijalankan di dalam sistem sekolah/madrasah akan memberikan pengaruh dan bekas yang mendalam bagaimana menjalani/melatih diri hidup sederhana, nyegara dan berlapang dada menerima kenyataan memimpin diri sendiri, yakni mengurus, menolong dan memerintah diri sendiri dengan mengindahkan tuntunan pimpinan, mengutamakan beramal untuk kepentingan bersama dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis, yakni tidak merasa sukar dimana saja, tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga jangan tidak mengetahui hak diri.
Untuk itu juga dipandu oleh beberapa qaidah.
Pertama memberikan bimbingan untuk dapat mencapai jiwa hurriyyah tammah (jiwa yang merdeka sejati). Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar. Ingat bahwa Yadu al ulya min yadi as sufla. Artinya tangan yang di atas itu lebih mulia dari pada tangan yang dibawah. Tegasnya memberi itu lebih mulia daripada meminta.

Karena itu harus menjalankan zelfbedruipings sistem (qaidah berikutnya). Agar dapat terlepas dari ketergantungan kepada lain orang.
Di pondok ini ada 12 unit ketrampilan yang masing-masing dipandu oleh 12 kelompok kerja.
Antara lain memproduksi susu kedelai “marasake” yang mesinnya dibuat sendiri.
Bidang pertanian misalnya, warga jamaah pondok dengan penelitiannya menemukan cara pemupukan (nutrisi) bagi tanaman padi yang setiap bulan bisa panen. Demikian halnya penelitian sumber energi, penelitian gelombang laut dan angin supaya menjadi sumber listrik, dll.

Qaidah berikutnya mengingatkan bahwa bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci, paham buruh harus dilempar jauh-jauh.
Dimaksud paham buruh yang harus dilempar jauh-jauh adalah keberhasilan yang menjadikan seseorang lalu diperbudak nafsu dan dunia, agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya, dan agar kita semua lambat laun dapat mencapai pengabdian kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni dan sempurna.
Kerjakanlah hal itu, kebahagiaan dunia dan akherat akan terjamin sepenuhnya.

Karena itu maka pimpinan dan juga semua pendidik yang ditakuti harus dijauhi, sedapat mungkin jangan dijalankan. Sedang pimpinan atau dan juga para pendidik yang dicintai dibiasakan. Ingatlah bahwa pengaruh pendidikan berdasarkan mahabbah itu lebih besar dan lebih berpengaruh serta mendalam daripada pendidikan yang pimpinannya ditakuti. Oleh karena itu maka “rasa kekeluargaan harus diperkokoh dan dipererat”.

Ada qaidah yang kemudian diperdalam di Ponsok Sufi yang melahirkan terbentuknya gerakan Jamaah lil-Muqorrobin. Yakni gerakan tapa ana ing sak tengahing praja dan nyingkrih ana ing sak tengahing masyarakat.

Bunyi qaidah tersebut adalah dengan sabar dan tawakkal kita harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.
Maksudnya adalah bagaimana kerja keras kita untuk mengelola garapan dunia yang dicipta Allah tidak batal dan tidak sia-sia untuk kesejahteraan bersama dan kemakmuran bersama diniatkan untuk berbakti (kepada Allah) dan berkorban bagi mendidik dan melatih diri sendiri dan sesamanya harus kita lakukan dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya karena Allah, dijalan Allah, dengan Allah, dari Allah, untuk Allah sehingga saking ikhlasnya sampai tidak merasa.
Sebab rasa hatinya disibukkan untuk senantiasa dapat merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb dan Mutlak Wujud-Nya yang sangat dekat sekali serta senantiasa menyertai dan meliputi hamba-Nya sejagad raya.
Kelahiran dan kebatinan orang yang demikian dimana saja dan kapan saja pasti berfaedah bagi lain orang (masyarakat).

KEMBALI KEPADA ZAMAN KENABIAN (09 Oktober 2008)

Bismillahirrahmaanirrahim..

Dengan segala puji dan rasa syukur kehadirat Allah SWT, Imam Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin dengan petunjuk Allah (lewat Malaikat Jibril) menyampaikan bahwa perjuangan membela cita-citanya Guru Wasithah saat ini memasuki tahapan: KEMBALI KEPADA TRADISI ZAMAN KENABIAN (kenabiannya Junjungan Nabi Muhammad SAW). Yakni dengan dibentuknya oleh Allah dengan hidayah-Nya tentang ahlul bait. Yaitu:
1. Mereka yang telah memperoleh izin memperoleh Ilmu Syathariyah/ Ilmu Nubuwah, ketaatan dan kesetiaannya kepada Guru Wasithah dan ajarannya, tumemennya berusaha untuk selalu ka al-mayyiti baina yadi al-ghasili.
2. Saling menjaga dan memelihara kokoh dan kompaknya jamaah dalam kerangka melaksanakan Dawuh Guru dengan rasa kekeluargaan yang perasaan rohaniahnya dipenuhi dengan rasa mahabbah bi-Rauhillah, sebagaimana dipandu oleh Qaidah IX.
(Nyegara, berlapang dada saling ingat mengingatkan, saling memaafkan, saling melengkapi, saling bermusyawarah bagaimana seharusnya melaksanakan Dawuhnya Guru).
3. Imannya yang ma’rifatun wa tashdiqun disuburmakmurkan oleh kesungguhan hatinya dalam memahami dan mengamalkan apa yang dijelaskan dalam gambaran nyata tentang Kalimatun Thayyibatun ka sajaratin thayyibatin, pada malam Nuzul Al Quran, pada bulan Ramadhan 1429 H yang lalu.
4. Berkepedulian tinggi terhadap program-program organisasi Dawuh Guru yang mengutamakan sumber pendidikan yang Islami, pemberdayaan warga serta jangkauannya terhadap cita-cita luhur berbangsa dan bernegara. Yaitu gerakan tapa ana ing sak tengahing praja dan nyingkrih ana ing sak tengahing kalangan.
5. Perangnya, kalau di zaman Junjungan Nabi Muhammad SAW (sebagai lakon pitukonnya) dengan mengangkat senjata, tetapi di zaman sekarang ini dengan bersenang hati bersama-sama saudara setujuan dan secita-cita memerangi nafsunya sendiri-sendiri agar dengan rela dijadikan tunggangannya hati nurani roh dan rasa menuju kepada Allah sehingga sampai, disertai dengan selalu membangun bagusnya akhlak, membeningkan hati, mensucikan jiwaraga serta senang bersama-sama saudara setujuannya untuk meramaikan syiarnya agama Allah yang suci dan murni sejati.

Adapun siapa-siapanya ahlul bait tersebut hanya ada di dalam benaknya Wasithah dengan mereka yang hati nurani roh dan rasanya sambung dengan ajarannya. Dan bagi mereka yang belum demikian halnya, kemungkinan masih dalam proses boyongannya nafsu kepada tujuan dan cita-cita hati nurani roh dan rasa. Atau bahkan yang terjadi, ternyata banyak yang berjalan di tempat. Di tempatnya nafsu dan watak akunya. Namun masih ada harapan, karena hatinya masih mempunyai rasa percaya kepada mengadanya Guru Wasithah.
Kemudian yang jelas-jelas ditolak adalah mereka yang tetap saja “ngegul-ngegulake” nafsu dan watak akunya serta mereka yang justru malah mencampur adukkan yang hak dan yang batal.

Di zaman yang semakin dekat dengan digelarnya oleh Allah cita-citanya Guru Wasithah, bagi ahlul bait, suasana batin dengan terus berprihatin dengan berusaha selalu pandai bersyukur kepada Allah SWT supaya hati nurani roh dan rasa senantiasa mapan di dalam Dawuh Guru, adalah suatu keharusan. Dengan demikian maka, berberan, sawab dan berkah pangestunya Wasithah selalu menyertai kita semua. Amin.



Pondok Sufi, Tanjung, 7 Syawal 1429 H

7 Oktober 2008 M
Imam Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobien,





KH. MUHAMMAD MUNAWWAR AFANDI

MEREKA YANG DIBENTUK ALLAH DIJADIKAN KEKASIHNYA (01 Juni 2008)

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya, hanya sedikit.
Sebabnya ditentang oleh nafsu dan watak akunya manusia itu sendiri.
Hampir semua hamba Allah yang namanya manusia lattaba’tumu asy syaitan. 1)
(Yang pasti [hidupnya] mengikut syaitan).
Nafsu dan watak akunya yang wujudnya adalah jiwaraganya,
dibuat Allah dari setetes mani akan tetapi ternyata hanya menjadi penentang yang terang-terangan, sama sekali tidak pernah diperhatikan. 2)
Terang-terangan menentang petunjuk Allah.
Terang-terangan menentang perintah-perintah Allah.
Terang-terangan menentang kehendak Allah.
Terang-terangan menentang amanat Allah.
Terang-terangan melanggar larangan-larangan Allah. 3)

Rasul-Nya saja diperintah Allah supaya mengatakan.
Supaya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini selalu berlindung kepada Rabb.
Dan Rabb yang menjadi tempat berlindungnya rasul adalah kalimatan baqiyyatan.
Kalimatan baqiyyatan itu adalah Tauhidu al-Khaliq.
Mentauhidkan Dzat Yang Mencipta adalah selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzatullah (Al-Ghayb) dalam segala aktifitas hidup dan kehidupan yang dijalani.
Ada dan Wujud Diri-Nya Dzatullah (Al-Ghayb) itu adalah ”WangsitNya Guru” yang hak dan sah dikehendaki Allah sebagai ahli Kamal.
Dan ahli kamal itu adalah hamba yang dibentuk dan dijadikan oleh Allah dengan diberi martabat mursyidun, murbiyyun, nasihun dan kamilun.

Rabb tempat berlindung rasul-Nya Allah itu sangat dekat sekali di dalam rasa hati.
Dia-lah Raja manusia Yang Menguasai jagad manusia yang ada di dalam dadanya dan Yang Menguasai jagad raya dengan segala isinya.
Dia-lah satu-satuNya sesembahan yang harus selalu disembah dengan cara selalu gandeng dengan-Nya di dalam rasa hati.
Apabila tidak demikian halnya maka,
jagad manusia yang ada di dalam dadanya adalah jahatnya bisikan syaitan yang biasa bersembunyi.
Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia.
Dari jin dan manusia. 4)

Sasaran dan tujuan utama bisikan-bisikan kejahatan ke dalam dada manusia yang dikerjakan syaitan dengan cara terus menerus itu adalah,
agar tidak satupun manusia ini yang dijadikan percaya terhadap ketetapan Allah bahwa Laa biwushulin ilaihi illa bi Waasithatin (= tugas pokok semua nabi-Nya Allah dan para rasul-Nya).

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya.
Adalah mereka yang imannya secara benar ma’rifatun wa tashdiqun.
Adalah mereka yang yakin dan pasti terhadap makna Syahadat tarekat.
Mereka yang yakin dan dengan langkah pasti memenuhi sumpah dan janji.
Utamanya terhadap sumpah yang bunyinya wa bi as sayyidi syaikhi syaikhan wa dalilan wa muroban sebagai bentuk konkritnya hablun minallah.
Serta sumpah yang bunyinya wa bi al fuqaraai attabi’iina ihwaanan lima ’alaihim walahum ma ’ala aththaa’ati tajama’na wa al ma’siyati tafaraqna, sebagai bentuk nyata hablun minannaas.

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya adalah mereka yang sangat yakin karena dijadikan mengerti terhadap firman Allah: Wattabi’ sabiila man anaaba ilayya serta petunjuk Allah dalam QS. Ali Imran ayat 31. 5)
Serta mereka yang dijadikan mengerti dan yakin terhadap firman Allah dalam QS. An Nuur ayat 54, 55 dan 56.

ö@è% (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ( cÎ*sù (#öq©9uqs? $yJ¯RÎ*sù Ïmø‹n=tã $tB Ÿ@ÏiHäq Nà6ø‹n=tæur $¨B óOçFù=ÏiHäq ( bÎ)ur çnqãè‹ÏÜè? (#r߉tGôgs? 4 $tBur ’n?tã ÉAqß™§9$# žwÎ) à÷»n=t7ø9$# ÚúüÎ7ßJø9$# ÇÎÍÈ
y‰tãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 ’Îû ÇÚö‘F{$# $yJŸ2 y#n=÷‚tGó™$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKã‹s9ur öNçlm; ãNåks]ƒÏŠ ”Ï%©!$# 4ÓÓs?ö‘$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïd‰t7ãŠs9ur .`ÏiB ω÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRr߉ç6÷ètƒ Ÿw šcqä.ÎŽô³ç„ ’Î1 $\«ø‹x© 4 `tBur txÿŸ2 y‰÷èt/ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÎÎÈ
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ
Artinya:
Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (QS. An-Nuur: 54)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik. (QS. An-Nuur: 55)
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nuur: 56)


II.

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya adalah mereka yang selalu sadar sebagai al-faqir.
Laa khaufun ’alaihim walaahum yahzanuun.
Tidak ada rasa takut dan tidak ada gundah gulana meskipun semua penduduk bumi dilanda rasa takut dan gundah gulana.
Tidak ada rasa takut miskin. Takut sakit. Takut rekasa kangelan dan kelangan.
Tidak ada takut mati. Takutnya hanya kepada Allah.
Karena itu taatnya kepada utusan Allah yang tugas pokoknya sebagai Wasithah dijadikan mendarah mendaging.
Rasa hatinya kokoh dengan Yang Maha Kekal dan diupayakan selalu diingat bersamaan dengan setiap masuknya nafas ke dalam dadanya.
Oleh Allah dijadikan berlapang dada.
Dan tetap berlapang dada dimana saja berada meskipun demi mewujudkan setianya kepada gurunya harus melewati jalan yang rumpil. Berat bebannya (buat ukuran nafsu dan watak akunya). Besar cobaannya. Banyak pengorbanannya.
Itulah rahmat Allah serta keberkatan yang sempurna, dibuka oleh Allah bagi hamba yang dipilih untuk dicintai oleh-Nya.

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya di zaman mukmin ini adalah mereka yang dibuka pengertiannya dan keyakinannya bahwa hidup tanpa berwasithah sama artinya dengan hidup bersama iblis dan syaitan.
Pernyataan keras ini demi tegaknya hak mutlak-Nya Allah dan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW rasulullah.
Hak mutlak-Nya Allah yang tempatnya tepat ditengah-tengah dada yang paling dalam di kedalaman rasa yang dibeningkan dengan inti manusia.
Sebagai tempat asal fitrah jati diri dan tempat kembali.
Dan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai rasulullah yang harus selalu berada di tengah-tengah jamaah yang dibimbingnya.
Telah terlalu lama didustakan.
Karena itu bangkitnya TAUHIDU AL KHALIQ tiba saatnya merubah dunia.
Dari kerja keras iblis yang telah berhasil mengajak manusia menjadi kiblisan.
Kepada gerakan hatinurani roh dan rasa yang berfungsi dengan Nur Muhammad-Nya.

Mereka yang dibentuk Allah dijadikan kekasih-Nya.
Semangat hidupnya berdzikir.
Cita-citanya bagaimana supaya selalu dijaga (oleh Allah) setia lahir dan batin kepada Wasithah. Gurunya.
Tujuan hidupnya itba’ kepada guru yang tugas pokoknya sebagai Wasithah sehingga (dengan sendirinya) ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah didekatkan kepada-Nya sehingga sewaktu-waktu mati yang pasti ditemui akan merasakan betapa bahagianya mati selamat dengan rasa bahagia pulang kembali kepada-Nya.
Karena itu jalan yang ditempuhnya jalan lurusnya Allah. Yaitu melaksanakan Dawuh Guru mengumpulkan syareat dan hakekat.

Hal ini adalah seruan Azza wa Jalla dari langit di atas langit.
Sehingga tidak satupun manusia di atas bumi ini yang akan dapat melihatnya (dengan mata hati).
Termasuk mereka yang telah memperoleh izin menerima ilmu dari yang hak dan sah menunjukkan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb dan dekat sekali.
Kecuali bagi mereka yang setelah memperoleh izin mendapatkan ilmu itu lalu dengan tekun dan bersungguh-sungguh belajar dan terus belajar
bagaimana seharusnya memenuhi ajaran Wasithah.
Hal demikian adalah pertanda nyata hamba yang dibelaskasihi Tuhannya.
Dan yang paling mengetahui adalah dirinya sendiri-sendiri.
Oleh karena itu bagi yang dijadikan menyadari bahwa ini adalah suci kang kahesti dan luhur kang ginayuh,
Jangan ada hentinya memerangi nafsu dan watak akunya sendiri.
Yaitu mujahadah yang membentuk diri dengan tahsinul akhlak, watashfiyatu al qalbi, wa tazkiyatu al nafsi, wa sa’yi fima bi’imaaratin. Senang bersama-sama saudara setujuannya meramaikan dan memakmurkan prajaning Guru dengan berkorban dan berbakti menghidup suburkan jamaah dan jam’iyyah, pendidikan dan pemberdayaan warga.

Tanjung, awal Juni 2008
Imam
Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin,



KH MUHAMMAD MUNAWWAR AFANDI

Catatan
1) QS. An Nisa’ 83
2) QS. Yasin 77
3) QS. Ar Ruum ayat 31 dan 32
Artinya : yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Ruum: 32)
4) QS. An Naas
5) Artinya : Katakanlah (hai Muhammad dan para penggantinya yang hak dan sah dikehendaki meneruskan tugas dan fungsinya yang silsilahnya tidak akan pernah terputus sama sekali hingga sampai kiyamat nanti), apabila kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (=aku Muhammad SAW dan juga aku pengganti-penggantinya), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni segala dosa-dosamu.

Senin, Maret 23, 2009

Ghadir Khum: Episode Spiritual Yang Tertindih Puing-Puing Reruntuhan Peradaban

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”. Demikian bunyi dari sebuah nasehat tua. Di masyarakat ucapan ini lebih dikenal dengan singkatan Jas Merah. Tentunya, sebaris kata bijak Rata Penuhini bukanlah ungkapan melancholis semata untuk lebih mengedepankan kegenitan bahasa. Bukan pula sekedar gemuruh retoris agar kita terbuai untuk berpesiar ke masa lalu. Ia hadir lebih dikarenakan ada sesuatu yang bermakna di sana. Sesuatu yang mesti dijadikan fokus perhatian karena menyangkut kualitas kehidupan sekaligus mutu masa depan umat manusia itu sendiri. Dilihat dari sisi kemunculannya saja, hikmah ini tidak mungkin lahir begitu saja lewat obrolan bahasa sehari-hari tanpa didahului adanya babak pergulatan dan jerih payah dari para pelaku-pelaku sejarah. Dibutuhkan orang-orang yang mau jatuh terpelanting dalam hidup ini lalu bangun lagi, sebelum mereka berhasil merumuskannya, kemudian mempersembahkan hikmah ini ke khalayak ramai. Dibutuhkan orang-orang yang mau berakit-rakit ke hulu terlebih dahulu agar kita yang hidup dikemudian hari bisa berenang-renang ke tepian. Dibutuhkan orang-orang yang bersedia pontang-panting ke sana kemari, dan masih juga tertimpa tangga sehingga ada pelajaran yang bisa kita petik darinya. Yaitu, pandangan dunia sejarah! Pandangan dunia sejarah inilah yang berada dibalik piwulang luhur tadi.
Setidaknya, ada dua sikap yang bisa muncul saat kita dihadapkan pada realitas sejarah yang ada. Pertama, bersikap sebagai seorang pengamat sejarah. Disini kita membuat jarak renung dengan masa lalu. Realitas sejarah dijadikan obyek analisa yang relatif terpisah dengan realitas kekinian. Sejarah hanyalah cerita lampau yang kini dikenang. Dianalisa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya kita anggap sebagai peristiwa ”tanpa tanda jasa” yang tidak memberi sumbangsih bagi realitas kekinian. Persetujuan ataupun penolakan kita atas realitas sejarah tidak ada konsekuensi apapun terhadap posisi kehidupan kita saat ini. Kedua, sikap sebagai pewaris sejarah. Pada dataran ini, realitas kekinian dianggap sebagai kelanjutan dari realitas kelampauan. Realitas kekinian merupakan akibat dari realitas masa silam yang berposisi sebagai sebab. Konsekuensi dari sikap seperti ialah kita tidak bisa mengabaikan aneka peristiwa masa lalu yang telah membentuk realitas kekinian. Disebabkan oleh sikap semacam ini maka mempertanyakan keabsahan dan validitas realitas sejarah itu sendiri menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Bahkan bisa-bisa sikap mempertanyakan hal termaksud hukumnya menjadi wajib bila setelah didiagnose ternyata ada adegan sejarah yang tidak memperoleh legalitas ilahiah namun kenyatannya hingga saat ini masih diakui sebagai adegan sejarah yang sah. Lewat cara pandang seperti ini maka sejarah menjadi lembaran terbuka yang setiap saat siap untuk dikoreksi. Ditimbang-ulang. Dan, tidak sekedar didongengkan.
Kita pasti mencatat bahwa sejarah itu merupakan bikinan para penguasa. Sejarah tidak lahir begitu saja tanpa ada peran dari para pengambil keputusan saat itu. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Imam Ali kw, bila niat penguasa berubah maka berubahlah zaman. Dengan demikian realitas sejarah bukanlah realitas yang bebas nilai. Ia bukan suatu realitas yang bersih dari campur tangan manusia sebagai pelaku sejarah. Di sini, duduk perkaranya menjadi lebih gamblang bahwa pandangan dunia yang dianut para penguasa tentu mewarnai setiap kebijakan yang diambil, yang pada gilirannya, akan menjadi realitas sejarah itu sendiri. Cara berpikir seperti ini, akan menjadi sangat menarik bila dihubungkan dengan kehidupan keagamaan. Hal ini disebabkan, dalam beragama kita tidak bisa memilih sikap yang pertama, yang beranggapan masa lalu sekedar obyek analisa tanpa kita merasa diwarisi pandangan dunia dari para penguasa saat itu. Mau tidak mau, suka tidak suka predikat sebagai pewaris sejarah mesti kita sandang. Masalahnya akan bertambah pelik bila ternyata kita mewarisi realitas sejarah keagamaan yang keliru. Artinya, informasi yang sampai ke kita ternyata bukan informasi yang diharapkan agama itu sendiri. Tapi, informasi yang sudah diracik para policy maker saat itu yang sebenarnya tidak mempunyai paspor keahlian keagamaan. Dengan bahasa yang berbeda bisa dikatakan, sejarah yang kita pelajari dan kita yakini selama ini adalah sejarah ”jadi-jadian”. Sejarah hasil ramuan orang-orang yang bukan ahlinya.
Pembaca budiman, marilah kita buka kembali lembaran-lembaran buku sejarah tentang peradaban manusia saat kita masih duduk di bangku SD ataupun SMP. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bahwa sejarah manusia adalah sejarah peperangan. Sejarah tentang adanya intrik-intrik politik untuk meraih kekuasaan. Sejarah perebutan kekuasaan duniawi. Ada beberapa pendapat yang bernada nyinyir tentang perjalanan hidup manusia, yaitu: ”Tidak ada waktu damai, yang ada adalah waktu di antara dua perang.” Lainnya, ”Waktu damai adalah waktu untuk mempersiapkan perang.” Lewat kedua pendapat ini terbuktikan sudah bahwa sejarah manusia adalah sejarah yang tidak pernah beres. Selalu saja berperkara, dan ini terjadi di belahan bumi manapun, dalam persoalan apapun, entah sampai kapan. Demikianlah sekelumit pelajaran sejarah yang masih sempat kita ingat.
18 Dzulhijjah tahun ke 10 Hijriah, lebih dari seribu tahun yang lalu. Saat itu kafilah Rasulullah Saw mulai bergerak meninggalkan kota Mekkah untuk kembali ke Madinah selepas menunaikan ibadah haji, yang dikenal dengan haji wada’. Rombongan tersebut yang berjumlah kurang lebih 70.000 orang sudah beranjak. Dikejauhan, gugusan fatamorgana yang mulai terlihat menggenangi landskap berpasir, sudah menunggu lama. Kepulan debu-debupun berkerumun mengitari kaki-kaki kuda maupun onta akibat hentakannya. Panas terik. Bola api matahari menyorot garang memanggang punggung-punggung. Sementara itu, di atas pelana, duduk sesosok pribadi suci yang membedakan dari selainnya. Muhammad Saw. Kepadanyalah Allah SWT beserta para malaikat-Nya dan orang-orang yang beriman bershawalat dengan shalawat yang tidak terhingga ujungnya, dan tidak terputus bilangannya.
Pandangan suci beliau Saw menyapu seluruh hamparan bumi. Purnama wajahnya tampak jelas tertimpa cahaya mentari. Dalam suasana yang mustahil dilukiskan dengan bahasa manusia biasa, Nabi Saw menerima wahyu Allah SWT: ”Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan apabila tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan (seluruh) risalah-Nya. Allah (akan) memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al-Maidah: 67)
Mengapa Allah SWT seakan memberi ancaman kepada kekasih-Nya? Apakah selama ini ada wahyu yang tidak disampaikan kepada umatnya? Tentunya tidak demikian cara penafsiran terhadap ayat tadi. Tapi, ancaman di ayat tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang maha penting sehingga bila tidak segera disampaikan akan sama halnya dengan tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Lalu, risalah ap ayang harus segera disampaikan itu sehingga bila tidak segera disampaikan berarti sama dengan tidak menyampaikan seluruh risalah yang telah beliau Saw sampaikan selama ini?
Kafilah yang dipimpinnya terus berjalan menembus padang bara sahara, hingga sampailah di sudut padang pasir yang bernama Juhfah, sebuah persimpangan yang memisahkan perjalanan dan tujuan satu rombongan dari rombongan lainnya. Di tempat ini pula ada sebuah oase yang sering disebut Ghadir Khum. Untuk menyampaikan risalah-Nya, Beliau Saw memerintahkan sahabatnya berhenti dan berkumpul di tempat ini. Mereka yang telah mendahului rombongan diperintahkan untuk kembali, dan yang masih tertinggal diperintahkan untuk lebih cepat agar bergabung dnegan rombongan yang lebih dahulu. Menjelang Dhuhur, sesudah semuanya berkumpul Nabi Saw yang mulia tampak berdiri di atas susunan batu. Seluruh pandangan mengarah ke wajah sejuk 63 tahun itu.
Setelah untaian pujian kepada Allah SWT disampaikan, dengan nada yang kharismatik beliau Saw berpidato, ”Kini akan kusampaikan kepada kalian apa yang Tuhan wahyukan kepadaku, sebab bila tidak kulakukan itu, niscaya azab-Nya akan mengenaiku, sedemikian sehingga tiada siapapun yang akan dapat menghindarkannya dariku. Tiada Tuhan melainkan Dia. Dia telah memberitahuku apabila tidak kusampaikan apa yang diturunkan-Nya padaku, itu berarti sama dengan aku tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan Dia juga telah menjamin untuk memeliharaku dari orang-orang yang menentang. Bagiku cukuplah Allah yang Maha Pemurah sebagai penjamin. Firman-Nya untukku: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Apabila tidak kau lakukan itu, berarti sama dengan engkau tidak menyampaikan seluruh risalah pesan-Nya, dan Allah akan memelihara dari gangguan manusia-manusia lain.” (QS Al-Maidah: 67). Selanjutnya beliau Saw mengatakan:
Wahai manusia, aku tidak pernah salah atau lalai dalam menyampaikan segala sesuatu yang diturunkan Allah kepadaku. Kini aku jelaskan kepada kalian penyebab turunnya ayat ini. Malaikat Jibril as, turun menjumpaiku sebanyak tiga kali, memerintahkan aku untuk berdiri di tempat ini dan menyatakan kepada bangsa putih dan hitam, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudara, washiku (penerima wasiatku), penggantiku, dan imam setelahku, yang kedudukannya di sisiku sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nbai sesudahku.
Dia adalah wali (pemimpin) kamu setelah Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT juga telah menurunkan kepadaku sebuah ayat dalam kitab-Nya berkenaan dengan itu: ”Sungguh wali (pemimpin) kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’.” (QS. Al-Maidah : 55)
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakatnya dalam keadaan ruku’ seperti yang dimaksudkan oleh Allah SWT itu. (Terj. Husein Shahab).
Pembaca Budiman. Kita tinggalkan sejenak pembahasan di atas dan nantinya akan kita lanjutkan. Tentu saja bisa dikatakan bahwa kaitan antara alam dunia dengan alam akhirat adalah persis sama kaitannya antara alam perut ibu dengan alam dunia ini. Tidak ada pemisahan di kedua alam tersebut, yang ada adalah kelanjutan. Konsekuensi dari pandangan dunia Islam seperti ini ialah bahwa masalah kepemimpinan tentu tidak ada pemisahan juga antara pemimpin dunia dari pemimpin akhirat. Tidak ada dualisme kepemimpinan. Di sini ada pertanyaan yang kita ajukan, lalu siapa yang mampu untuk memimpin umat manusia dari alam dunia ini hingga alam akhirat nanti? Jawabnya sangat jelas dan tegas, kita tidak tahu! Dikarenakan ketidaktahuan kita inilah maka Allah SWT lalu menunjuk siapa yang mempunyai kualifikasi spiritual untuk memberikan bimbingan pada umat-Nya, yang selanjutnya disebut Nabi atau Rasul. Maka tidak akan pernah ada Nabi atau Rasul hasil pemilihan umum. Manusia tidak akan pernah menyelenggarakan pemilu untuk memilih Nabi atau Rasul.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bila Rasul terakhir sudah wafat dan tidak ada Rasul lagi. Siapa yang mampu memimpin umat pasca kenabian? Jawaban atas pertanyaan ini malah berupa pertanyaan balik, Apakah setelah Rasul Saw wafat lalu saat itu juga terjadi pemisahan antara alam dunia dan alam akhirat? Bukankah argument yang menyatakan bahwa akhirat merupakan kelanjutan dari dunia ini merupakan argument yang sudah tidak mungkin tersanggahkan lagi, sekalipun sudah tidak ada Nabi. Lalu, siapa yang mempunyai kualifikasi spiritual pasca kenabian sehingga beliau mampu membimbing umat manusia pasca kenabian? Jawabnya lagi-lagi sangat jelas dan tegas, kita tidak tahu! Karena ketidaktahuan kita ini maka Allah SWT lewat Nabi Saw telah pula menunjuk seseorang yang mampu membimbing umat manusia pasca kenabian. Beliau Saw berdasarkan wahyu dari Allah SWT sudah menetapkan seseorang yang mampu memimpin umat Islam sepeninggalnya sekaligus mampu menjelaskan atau menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar. Benar menurut Allah SWT dan bukan sekedar menurut manusia. Pemimpin pasca kenabian inilah yang kita sebut sebagai Imam. Dan, orang yang pertama kali menyandang julukan Imam setelah Rasul Saw wafat tak lain dan tak bukan adalah Imam Ali bin Abi Thalib Kw.
Kita kembali ke perbincangan semula. Setelah kita membaca hadits Ghadir Khum di atas, lantas apakah selesai begitu saja masalahnya? Tak ada lagi persoalan yang tersisa? Tuntas semua? Benarkah anggapan seperti itu? Oh, jangan tergesa-gesa mengatakan masalahnya sudah selesai, Pembaca yang budiman. Ternyata masih ada satu masalah yang tak lelah-lelah mengintip sejak tadi: bagaimana bila terjadi perbedaan penafsiran atas hadits tersebut atau terjadi perbedaan atas penyebab turunnya hadits itu. Bukankah perbedaan penafsiran merupakan hal yang wajar?
Ada sebagian umat Islam yang, karena terlatih dalil aqlinya atau logikanya, mereka berpendapat bahwa perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah wajar-wajarh saja. Perbedaan pendapat adalah rahmat. Kritik atas penafsiran seperti ini: perbedaan yang bagaimana yang merupakan rahmat itu? Apakah perbedaan penafsiran atas Al-Qur’an dan Al-Hadits yang pada gilirannya akan mengakibatkan perbedaan pada tingkat fiqih juga bisa dikatakan sebagai rahmat? Bukankah perbedaan penafsiran ini membuat kita tidak tahu lagi hasil penafsirannya siapa yang benar menurut Allah SWT? Pada saat yang sama kita ingin menjalankan fiqih dengan baik dan benar. Lalu, hasil penafsiran siapa yang baik dan benar menurut Allah SWT itu sehingga bisa dijadikan rujukan umat? Di sini, satu hadits saja sudah berpotensi menimbulkan perbedaan, bagaimana dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara keseluruhan? Jangan-jangan malah bisa dikatakan bahwa ketercerai-beraian umat Islam sekarang ini (dari dulu?) justru gara-gara terjadi perbedaan penafsiran atas Al-Qur’an dan Al-Hadits?
Syukurlah Allah SWT lewat Rasul-Nya telah menetapkan pemimpin umat ini pasca kenabian. Dialah Imam Ali kw. Sedikit kita lanjutkan hadits Ghadir Khum di atas, Nabi bersabda: ”Ketahuilah, wahai umat manusia, sesungguhnya Allah telah menetapkannya (Ali) sebagai wali, pemimpin dan Imam bagi kalian. Mematuhinya adalah wajib, baik kalangan Muhajirin, Anshar, generasi-generasi yang baik yang akan datang setelahnya, orang-orang desa, kota, ’ajam (non-Arab), Arab, orang yang merdeka, hamba sahaya, kecil, besar, putih, hitam, dan bagi setiap orang yang menyatakan Tauhid kepada Allah SWT. Keputusan hukum yang diambilnya (Ali) adalah sah. Kata-katanya wajib didengar dan perintahnya wajib dipatuhi…”
Namun beribu sayang. Hadits Ghadir Khum di atas tertutup oleh sejarah bikinan orang-orang yang tak pernah menjalani proses sertifikasi spiritual. Saat ini sudah terlihat bangunan rapuh peradaban yang dibuat oleh orang-orang non sertifikasi spiritual tersebut. Perlahan-lahan pilar utamanya runtuh, dan menjatuhi oase Ghadir Khum sehingga umat Islam tak lagi mampu mereguk kebeningan air risalah-Nya. Umat Islam dibuat rabun oleh reruntuhannya.
Tapi, ini syukur kita untuk kesekian kalinya, puing-puing reruntuhan peradaban yang telah sekian abad menindih episode spiritual di oase Ghadir Khum telah diangkat, disingkirkan dan dibersihkan oleh matahari dari Persia. Ayatullah Khomeini. Puing-puing peradaban yang berserakan dan berantakan telah beliau pinggirkan. Jadi beliaulah yang telah bersedia untuk berakit-rakit ke hulu berjuang menyingkirkan puing-puing peradaban yang kita hari kita runtuh agar kita, yang hidup di kemudian hari, bisa berenang-renang ketepian menuju peradaban yang sesungguhnya. Dia pulalah yang telah pontang-panting bahkan tertimpa tangga runyamnya persoalan dunia sehingga kita bisa dengan mudah memetik nilai-nilai sejarah yang sejati dan bukan nilai-nilai yang dipungut dari sejarah ”jadi-jadian”.
Sekali lagi, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah sampai kita bisa membandingkan antara sejarah yang diseyogyakan ada dari sejarah yang yang ada. Sekarang dipenghujung perbincangan ini, kita sampaikan Al-Fatihah kepada sang matahari dari Persia, Ayatullah Khomeini.

Allahumma shalli ’ala Muhammad wa Aali Muhammad

Al-Fatihah…

Ya Allah, Engkaulah yang menguasai urusan kami sebelum kami mampui beribadat kepadaMu. Engkaulah yang mempersiapkan pahala kami sebelum kami mulai menaati-Mu. Semua itu karena Sunnah-Mu memberi, kebiasaan-Mu berbuat baik dan jalan-Mu memaafkan. Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan Ahlulbayt beliau sebagaimana Engkau perintahkan kami untuk bershalawat kepadanya, hingga Engkau relakan mereka dan engkau gandakan kerelaan-Mu, karena memang Engkaulah ahlinya, ya Arhamar Rohimin. (Terj. Jalaluddin Rakhmat).

Oleh: Taufik Nur Rohman

Minggu, Maret 22, 2009

SUARA PENYIKSAAN ALAM KUBUR

Penemuan suara penyiksaan alam kubur ini ditemukan oleh seorang peneliti dari Soviet bernama Dr. Azzacove (seorang komunis), berikut ini adalah penuturan ceritanya :

"Penemuan terakhir ini adalah penemuan yang sangat mengejutkan pendengaran kami, dengan penemuan ini banyak dari peneliti kami yang berhenti dari pekerjaan ini karena ketakutan. Pada awalnya kami hanya hendak mendengarkan pergerakan bumi dengan interval tertentu dan mendengarkan Super Sensitive Microphone yang masuk ke dalam bilik-bilik atau lubang-lubang bumi dan reruntuhan galian.

Pada awalnya kami menyangka apa yang kami dapat itu adalah gesekan dari alat-alat kami pada dinding-dinding perut bumi, tetapi suara ini menghancurkan seluruh logika kami. Setelah beberapa penyesuaian kami berkasimpulan bahwa suara ini berasal dari interior bumi, jadi seakan-akan di dalam perut bumi ini ada ruang lain yang berbeda dari tempat yang kami gali, dan dari ruangan tersebutlah kami tidak mempercayai apa yang kami dengar.

Kami mendengar dari ruang bumi yang lain itu ada suara manusia berteriak keras dalam kesakitan. Walaupun satu suara didengar, kami dapat mendengar ribuan bahkan jutaan latar belakang suara manusia yang sedang dalam kesakitan akibat penyiksaan. Setelah penemuan yang sangat mencenangkan ini, setengah dari peneliti kami berhenti karene takut.

Yang sangat mengejutkan lagi, bagi orang Soviet itu adalah setelah suara tersebut direkam, pada malam yang sama, keluarlah semacam gas atau kabut yang terang dari lokasi penggalian gas. Gas atau kabut tersebut keluar dengan membentuk pilar-pilar dan tulisan yang membentuk seperti sayap kelelawar (seperti lafadz ALLAH, wallahu a'lam), lalu menampakkan dengan sendirinya dengan bahasa Rusia yang artinya AKU TELAH MENAKLUKKAN atau AKU TELAH MENUNDUKKAN. Tulisan itu terlihat di awan Siberia yang gelap.

Kejadian itu sangat tidak masuk akal orang-orang Soviet, karena sedang akan diteror beberapa saat setelah itu datanglah ambulance ke kumpulan orang-orang tersebut dan memberikan obat yang dapat menghilangkan memori dengan singkat. Sebagai perawatan kepada korban yang melihat keajaiban itu (ini mungkin agar kejadian ini tetap dirahasiakan).

Nah, sebagai komunis, Saya tidak percaya adanya surga dan Injil, tetapi sebagai Ilmuwan sekarang Saya percaya adanya NERAKA. Sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata, apa yang Kami temukan, apa yang Kami lihat dan apa yang Kami dengar. Dan sekarang kami yakin bahwa kami menggali dekat, dekat sekali dengan PINTU NERAKA.". Lalu Dr. Azzacove melanjutkan, "mesin penggali tiba-tiba berputar dengan sangat cepat ketika Kami mencapai salah satu kulit bumi, tempereturnya menunjukkan hingga 2000 derajat Fahrenhait, lalu kami mendekatkan microphone itu disana untuk mendengarkan pergerakan bumi, tetapi, yang terdengar adalah suara manusia, bahkan teriakan manusia dalam kesakitan. Pertama kami mengira suara itu adalah suara mesin. Tetapi setelah melakukan kajian ulang atas suara itu, suara yang terdengar adalah suara manusia bukan hanya satu orang, mungkin jutaan manusia yang sedang dalam siksaan dan kesakitan.

Apakah Anda tahu kenapa Jacques Costeau, seorang penjelajah dalam air berhenti beberapa saat sebelum dia mati. Dia berhenti karena dia juga pernah mendengar suara jeritan manusia di dalam air ketika ia sedang menjelajah di dalam air. Dan dalam kesempatan lain juga salah satu anak buahnya menemukan hal yang sama ketika ia sedang melakukan penjelajahan di sekitar SEGITIGA BERMUDA. Setelah ia sembuh dari shock yang sangat berat, kemudian ia menceritakan bahwa ia mendengar jeritan manusia yang banyak yang sedang disiksa di dalam perut bumi.

Untuk mendengarkan suara hasil penemuan tersebut lengkap dengan penjelasan ayat quran dan haditsnya silahkan download file MP3nya disini. Filenya berukuran 12 MB. Dalam file ini juga ada ceramahnya terlebih dahulu yang menerangkan tentang Hakikat Ruh.

Anda boleh percaya atau tidak, tetapi terlepas dari benar atau tidaknya suara tersebut, kita semua harus meyakini bahwa Alam Kubur dan Siksa Kubur itu ada, yang jadi pertanyaan sekarang adalah sudah siapkah kita untuk menghadapi alam Kubur ?

Semoga bermanfaat.

wallahu a'lam."HANYA ALLAH YANG MENGETAHUI ITU SEMUA"