Sabtu, Maret 28, 2009

MENiup RUH MAULUDAN


Peristiwa lahir dan matinya seseorang adalah peristiwa yang lumrah. Alami. Semua manusia mengalami. Menjadi berbeda dan istimewa (perlakuannya) bila yang dilahir-matikan adalah insan pilihan-Nya.
Demikian halnya ketika (Nabi) Muhammad kecil lahir dari rahim Siti Aminah. Peristiwa kelahirannya biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Juga tidak ada yang memperingati dan merayakan semeriah sekarang.
Tapi, 1438 tahun pasca kelahiran beliau (sekarang), peristiwa tersebut diperingati secara meriah oleh jutaan umat Islam di dunia. Ragam peringatannya pun tak terbilang banyaknya. Di Indonesia, ia diperingati mulai dari tingkat RT, desa, kecamatan, bahkan sampai Istana Negara.
Tujuan pokoknya sama. Mengenang kembali jasa-jasa beliau, cita-citanya, perjuangannya, pengorbanannya, jerih payahnya, tujuan hidupnya, dan apalagi ajaran mulianya. Dengan satu-satunya niatan : agar mendapat syafaat beliau baik di kehidupan dunia sekarang, terlebih di akherat kelak.
Sayangnya, diakui atau tidak, peringatan mulia tersebut ada yang terlupa. “Ruh” mauludan belum mengakar disana. Sehingga, perayaannya terkesan hanya sebagai ritual yang miskin makna. Terlepas dari hakekat dan pesan intinya.
Jauh tak menyentuh permasalahan apakah Tuhan menghendaki peristiwa lahirnya sang utusan tersebut—baik pada Nabi SAW maupun para rasul yang lain—dirayakan umat manusia. Lalu, apakah dibenarkan/disalahkan bila memperingatinya?
Saya yakin Tuhan “tidak” menghendaki adanya perayaan tersebut. Nyatanya, Nabi SAW sendiri tidak mengajarkan untuk memperingati lahirnya para rasul sebelum beliau. Misalnya saja merayakan lahirnya Nabi Isa--yang oleh kaum Kristiani diperingati sebagai hari Natal.
Beliau sendiri nyatanya juga tidak mewasiatkan agar hari kelahiran beliau (12 Rabiul Awal, bertepatan Senin 9 Maret 2009) dirayakan umat Islam. Namun, bila sekarang kejadiannya sedemikian meriah, hemat saya tidak terlalu salah. Asalkan ruhnya mauludan mengada pada tempatnya.
***
Setiap perayaan hari besar dan bersejarah, yang seyogianya ditafakuri secara mendalam, kemudian dipancang kuat dalam hati yang paling dalam adalah menemukan hakekat makna dibalik peristiwanya. Kemudian mencari langkah-langkah konstruktif yang perlu dibangun.
Dalam peristiwa mauludan, pemikiran utama yang hendaknya dilakukan secara mendalam adalah menemukan jawaban mengapa Tuhan “perlu” melahirkan Muhammad SAW menjadi penerus para rasul sebelumnya. Bukankah (mestinya) sudah cukup dengan diturunkannya puluhan rasul terdahulu—lengkap dengan kitab dan ajarannya?
Mencermati masalah yang cukup lembut dan njlimet ini, dalam Al Quran ditemukan sedikitnya empat alasan yang membahas mengapa Tuhan perlu menurunkan rasul-Nya--yang realisasi penurunannya dilakukan secara berkesinambungan.
Pertama, untuk membimbing manusia agar tidak terjebak dalam perbuatan merusak dan menumpahkan darah. Sebab, sesuai firman-Nya, manusia itu “pekerjaannya membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (QS. 2:30).
Hakekat membuat kerusakan adalah merusak hukum kehidupan yang telah Dia gariskan. Kehidupan dunia adalah ujian untuk bisa pulang kembali kepada-Nya. Hukum ini nyatanya dirusak dengan senang, bangga, susah, kecewa, dst-dsb, bahkan kelewat cinta dunia.
Membuat kerusakan yang lain—disamping membuat kerusakan yang nyata baik di darat, laut, udara, bahkan luar angkasa—adalah merusak kesanggupannya sendiri. Merusak kesanggupan memikul amanah yang telah disanggupi ketika masih di alam arwah. Terbukti dengan tidak butuh mengenali Wujud/Dzat-Nya hingga hakkul-yakin. Tidak mau mengakui, mencari, dan apalagi “berguru” pada rasul-Nya.
Kedua, menjadikan rasul sebagai “juru kunci” yang dapat mengenalkan kembali pada Dzat/Wujud-Nya--yang selanjutnya disembah dan dijadikan tujuan kembali.
”Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu (manusia dan anak keturunannya) tentang Al-Ghaib (Dzat/Wujud-Nya), akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya dari (dengan cara melalui) rasul-Nya...” (QS. 3:179).
Jelasnya, karena Tuhan tidak akan “ngejawantah” (menampakkan Diri) di muka bumi (sebagaimana kisah Nabi Musa meyakini Wujud Tuhan), maka “merasa perlu” mengangkat wakil/khalifah/rasul untuk menunjukkan Jati Diri-Nya.
Ketiga, karena “mereka (manusia umumnya) tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal" (Q.S. 22:74). Padahal, ketika masih di alam arwah (alam fitrah) dulu, arwah semua manusia telah mengenali Dzat-Nya dengan seyakin-yakinnya. Terbukti dengan “gagah perkasa” berani menjawab persaksian dari-Nya: “Alastu Birabbikum”, bukankah AKU ini Tuhanmu? dengan jawaban “Qaalu balaa syahidna”, benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi (QS. 7:72). Oleh karenanya, penurunan rasul-Nya (Muhammad SAW) adalah wujud Maha Belas Kasihnya, yang akan mengenalkan kembali jati diri manusianya dengan Jati Diri Tuhannya.
keempat, mengangkat rasul sebagai “pilot proyek“ (suri teladan/contoh nyata) dalam rangka berjihad untuk bertemu Tuhan kembali. “Pada diri rasul (semua para rasul-Nya) terdapat suri teladan yang baik, bagi yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiyamat” (QS. 33:21, QS. 60:6). Disamping “duta khusus” penyambung “lidah”-Nya.
Implikasinya, “hanya” pada rasul-lah terdapat suri teladan yang baik. Selain rasul, tidak ada jaminan dari-Nya untuk diteladani. Namun, pada mereka semua pasti ada butir-butir “saripati” kebaikan dan kebenaran yang dapat diambil. Tergantung seberapa besar kemampuan menelaah, mencermati, yang kemudian memulungnya.
Walhasil, hikmah yang dapat diambil dari “muludan” adalah bahwa Tuhan akan selalu meng-“update” (memperbarui) rasul-Nya, bila rasul-Nya tiada (meninggal, dibunuh, ataupun murca) dengan rasul berikutnya. Hal demikian menurut Tuhan adalah suatu perkara yang sangat-sangat mudah. Namun menurut manusia adalah perkara yang sangat berat. Sebagaimana kisah penolakan para rasul oleh umat sebelumnya.
Kemudian pemikiran konstruktifnya, inspeksi diri sejauh mana kita mengapresiasi pertanyaan besar-Nya: "Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu (kamu dalam arti nenek moyang, kita semua, anak cucu, semua spesies manusia sampai kiamat). Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. 3:101).
Seberapa besar pula kita telah meneladani sang rasul mulai dari perbuatannya, perkataannya, ilmunya (pemahaman dan keyakinan perihal ketauhidan), amalnya, lahirnya, dan batinnya? Terlebih wening-nya hati nurani roh dan rasa dalam mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya? Wallau a’lam, wa ana makanul khatha’ wa nisyan.

Oleh: Roni Djamaloeddin


Penulis:
Praktisi Ilmu Tauhid Sejati. Guru Matematika dan Ilmu Dedaktik SMA POMOSDA Tanjunganom Nganjuk.

1 komentar: