Sabtu, Maret 28, 2009

POMOSDA, PONDOK SUFI DAN GERAKAN JAMAAH (25 Oktober 2008)

Tujuan dan cita-cita Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA): berusaha dengan sungguh-sungguh dengan benar dan ikhlas agar dapat menghasilkan sebanyak-banyak orang yang shalih dan shalihah yang luas, tinggi dan mendalam kepahamannya tentang agama Islam, yang cakap dan berkeahlian serta berakhlak mulia, rajin beramal dan berbakti kepada masyarakat berdasarkan taqwa (takut dan tunduk kepada Allah) sehingga menjadi warga masyarakat yang berilmu, terpelajar, beramal dan bertaqwa.

Agar dapat mencapai tujuan dan cita-cita tersebut pelaksanaan pendidikan, pembelajaran dan pelatihan di dalam POMOSDA menggunakan 2 sistem. Yakni sistem sekolah/madrasah dan sistem pondok yang kedua-duanya harus saling mengisi dan melengkapi. Sistem sekolah/madrasah bertujuan untuk mempercepat langkah dan jalan penguasaan pengajaran.

Sistem pondok dimana kyai, ustadz dan ustadzahnya dengan santri dan muridnya, siang dan malam dapat bergaul dengan rapat sehingga merupakan satu keluarga yang perasaan ruhaninya diliputi oleh mahabbah (rasa kecintaan dan kasih sayang) yang akan dapat menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.
Dalam kedua-dua sistem tersebut, sistem pondok yang juga dijalankan di dalam sistem sekolah/madrasah akan memberikan pengaruh dan bekas yang mendalam bagaimana menjalani/melatih diri hidup sederhana, nyegara dan berlapang dada menerima kenyataan memimpin diri sendiri, yakni mengurus, menolong dan memerintah diri sendiri dengan mengindahkan tuntunan pimpinan, mengutamakan beramal untuk kepentingan bersama dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis, yakni tidak merasa sukar dimana saja, tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga jangan tidak mengetahui hak diri.
Untuk itu juga dipandu oleh beberapa qaidah.
Pertama memberikan bimbingan untuk dapat mencapai jiwa hurriyyah tammah (jiwa yang merdeka sejati). Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar. Ingat bahwa Yadu al ulya min yadi as sufla. Artinya tangan yang di atas itu lebih mulia dari pada tangan yang dibawah. Tegasnya memberi itu lebih mulia daripada meminta.

Karena itu harus menjalankan zelfbedruipings sistem (qaidah berikutnya). Agar dapat terlepas dari ketergantungan kepada lain orang.
Di pondok ini ada 12 unit ketrampilan yang masing-masing dipandu oleh 12 kelompok kerja.
Antara lain memproduksi susu kedelai “marasake” yang mesinnya dibuat sendiri.
Bidang pertanian misalnya, warga jamaah pondok dengan penelitiannya menemukan cara pemupukan (nutrisi) bagi tanaman padi yang setiap bulan bisa panen. Demikian halnya penelitian sumber energi, penelitian gelombang laut dan angin supaya menjadi sumber listrik, dll.

Qaidah berikutnya mengingatkan bahwa bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci, paham buruh harus dilempar jauh-jauh.
Dimaksud paham buruh yang harus dilempar jauh-jauh adalah keberhasilan yang menjadikan seseorang lalu diperbudak nafsu dan dunia, agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya, dan agar kita semua lambat laun dapat mencapai pengabdian kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni dan sempurna.
Kerjakanlah hal itu, kebahagiaan dunia dan akherat akan terjamin sepenuhnya.

Karena itu maka pimpinan dan juga semua pendidik yang ditakuti harus dijauhi, sedapat mungkin jangan dijalankan. Sedang pimpinan atau dan juga para pendidik yang dicintai dibiasakan. Ingatlah bahwa pengaruh pendidikan berdasarkan mahabbah itu lebih besar dan lebih berpengaruh serta mendalam daripada pendidikan yang pimpinannya ditakuti. Oleh karena itu maka “rasa kekeluargaan harus diperkokoh dan dipererat”.

Ada qaidah yang kemudian diperdalam di Ponsok Sufi yang melahirkan terbentuknya gerakan Jamaah lil-Muqorrobin. Yakni gerakan tapa ana ing sak tengahing praja dan nyingkrih ana ing sak tengahing masyarakat.

Bunyi qaidah tersebut adalah dengan sabar dan tawakkal kita harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.
Maksudnya adalah bagaimana kerja keras kita untuk mengelola garapan dunia yang dicipta Allah tidak batal dan tidak sia-sia untuk kesejahteraan bersama dan kemakmuran bersama diniatkan untuk berbakti (kepada Allah) dan berkorban bagi mendidik dan melatih diri sendiri dan sesamanya harus kita lakukan dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya karena Allah, dijalan Allah, dengan Allah, dari Allah, untuk Allah sehingga saking ikhlasnya sampai tidak merasa.
Sebab rasa hatinya disibukkan untuk senantiasa dapat merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb dan Mutlak Wujud-Nya yang sangat dekat sekali serta senantiasa menyertai dan meliputi hamba-Nya sejagad raya.
Kelahiran dan kebatinan orang yang demikian dimana saja dan kapan saja pasti berfaedah bagi lain orang (masyarakat).

1 komentar:

  1. Dalam kajian sosiologi agama, nilai-nilai dalam Syathariyah itu terinternalisasi dalam diri warganya sehingga berdampak positif dalam hidup sehari-hari warganya.

    BalasHapus